sumber foto : www.kuala-lumpur.attractionsinmalaysia.com |
"Astagfirullah" hanya itu yang bisa aku ucapkan begitu membuka pintu kamar dorm yang akan aku tempati.
Kamar yang tidak terlalu besar itu berisikan tiga buah ranjang tingkat yang bisa diisi oleh enam orang, saat aku datang hanya tinggal satu ranjang saja yang masih kosong, artinya aku tidak memiliki pilihan lain selain menempati ranjang itu, beruntung ranjang tersebut berada di bagian bawah dan agak jauh dari pendingin ruangan, lokasi favoritku jika menginap di kamar dorm.
Aroma kamar sangat tidak menyenangkan, bau, dan sulit bagiku menjelaskan bau apa yang aku cium ini. Antara bau kaki, keringat, dan bau lembab kamar yang sepertinya kurang mendapatkan sinar matahari. Jendela kamar yang tidak bisa dibuka membuat perputaran udara dalam kamar tidak bagus, menyebalkan. Aku duduk terdiam diranjang berusaha untuk beradaptasi dengan keadaan ini, perkenalan singkat dengan seorang pemuda Mesir yang sama-sama menghuni kamar itu setidaknya mengalihkan sedikit rasa sebalku.
Bisho, adalah seorang pemuda Mesir yang sedang berkuliah di Kuala Lumpur. Dia memilih tinggal di hostel itu dengan alasan praktis dan dekat dengan kampusnya, seketika aku teringat pada Kim, pemuda Korea yang sedang berkuliah di Singapura (Baca : Geleng-geleng di Geylang), Kim juga memilih tinggal di hostel dengan fasilitas kamar dorm dibanding harus menyewa apartemen. Wah, jadi ingin kuliah di Amerika #lhoo. Dan dari Bisho lah aku tahu kalau selain kami berdua dikamar itu ada tiga orang lainnya, yaitu satu orang Norwegia, satu orang Jerman, dan seorang wanita asal Jepang yang ranjangnya berada diatasku. Mmmhhhh.....hehehehe
Aku menyewa kamar di hostel ini melalui jasa situs pemesanan kamar hostel, kamar aku pesan beberapa saat setelah kereta yang membawaku dari Ipoh tiba di stasiun KL Sentral. Aku sangat senang saat itu karena berhasil mendapatkan kamar seharga empat puluh ribuan, tepatnya Rp. 40. 531,-. Aku makin senang karena hostel itu berada di salah satu pusat keramaian kota Kuala Lumpur, yaitu di Petaling Street. Rasa senang membuat langkahku ringan untuk segera pergi menuju hostel yang aku sewa.
Lembar konfirmasi pemesanan kamar |
Namun rasa senang mulai berubah saat dua kali aku memutar di Petaling Street tapi belum juga menemukan hostel yang dituju, sialnya beberapa orang yang aku tanyai juga tidak tahu dimana letak hostel itu. Hingga pada akhirnya aku lelah dan membeli minum tepat di persimpangan jalan yang berada di tengah Petaling Street. Saat aku melepaskan pandangan ke aneka lampion yang tergantung di atap Petaling Street, secara tidak sengaja aku melihat papan nama hostel yang kucari. Kecil, dan tersembunyi. Lelah.
Le Village China Town, terletak di lantai 3 sebuah ruko yang berjejer di sepanjang Petaling Street, lantai 1 nya adalah tempat pijat dan refleksi, lalu di lantai 2 adalah salon, naik tangga satu lantai lagi kita akan berjumpa dengan teralis putih yang kokoh, itulah hostelnya. Aku sudah mulai merasa tidak nyaman saat berada di meja receptionist, sambutan dari petugas hotel kurang bersahabat, dan setelah selesai semua urusan administrasi aku diberi sebuah sprai oleh petugas hotel lalu diarahkan untuk naik satu lantai lagi, tempat dimana kamarku berada, kamar nomor 2. Entah untuk apa sprei yang diberikan petugas hotel itu, aku pikir tadinya kasur di ranjang belum dipasangi sprei, tapi begitu sampai di kamar ternyata ranjangnya sudah dipasangi sprei, ahh...mungkin untuk selimut, pikirku.
Hostel ini tidak memiliki lemari penyimpanan, bahkan dikamarku beberapa barang tergeletak berantakan entah siapa yang punya. Dan aku yakin kalau kamar ini jarang disapu, bahkan mungkin tidak pernah disapu, itu karena aku melihat debu yang tebal dan banyak sobekan kertas juga plastik di bagian bawah ranjangku. Selain itu, banyak putung rokok di bawah jendela, padahal larangan merokok tertempel jelas di dinding kamar.
Pada akhirnya, istilah 'ada harga, ada kualitas' memang benar adanya, membeli sebuah jasa seperti kamar hostel dengan harga yang murah jelas memiliki resiko, setidaknya seperti yang aku alami ini. Namun aku tidak menyesali dengan apa yang terjadi, aku justru senang karena memiliki cerita untuk dibagi, kejadian ini adalah pelajaran penting buatku agar kedepannya bisa lebih hati-hati dalam memilih hostel.
Penderitaanku di hostel itu semakin menjadi saat malam tiba, sepanjang malam aku terjaga karena tubuhku gatal-gatal, bukan saja karena digigit nyamuk tapi juga oleh gigitan kutu di kasur yang aku tiduri. Maka saat matahari sudah mulai bersinar, aku segera pergi meninggalkan hostel itu. Petugas hostel yang membukakan kunci teralis buatku sampai bertanya "Why you leave so early?" "I need hot water for a shower" jawabku sambil bergegas pergi.
Pagi hari di Petalling Street |
Pagi hari di Petalling Street |
Pagi hari di Petalling Street |
-Kuala Lumpur, Malaysia, 21 April 2014-
Waow, a hostel without a shower? hehehe just curious what inside your lovely dorm. :D
BalasHapusa hostel have a bathroom, but I need hot water for a shower because my body itching hehehe
HapusMantap......! Salam blogger dari urang Kandangan, HSS, Kalsel.
BalasHapusTerima kasih mas Akhmad Husaini.
HapusSalam Blogger :)
Hahahhaaha, duit mmg ngak perna nipu yaa. Mau murah jd nya murahan di badan gatel hua hua
BalasHapusHo`oh kak Cumi, ampun dah begadang semaleman gara-gara kutu :)
Hapus