Halo 2018!
Senang bisa berjumpa denganmu.
Semoga banyak pula kesenangan
yang bisa saya jumpai di tahun ini.
Seperti kesenangan saat mendengar
kabar bahwa kegiatan Ngojak offline akan kembali diadakan. Suka cita saya
mendengar kabar ini. Butuh waktu 84 hari menunggu dalam rindu agar saya bisa
kembali ikut merasakan kesenangan mengenal kota Jakarta tercinta. Membaca
Jakarta, melalui kegiatan Ngojak offline yang kali ini mengambil tema “#Ngojak11 - Cikini; Bentrok Ideologi di
Kampung Juang”.
Ngojak offline adalah sebuah
kegiatan kopi darat yang diinisiasi oleh para pegiat apresiasi kehidupan kota.
Kehidupan yang mencakup ruang, sejarah, budaya, tradisi, lingkungan dan manusia.
Para penggiat ini memfokuskan kegiatan mereka di kota Jakarta, mereka menamakan
diri dengan nama Ngopi Jakarta atau Ngojak.
#Ngojak11 berlangsung pada Sabtu
13 Januari 2018, Stasiun Cikini menjadi titik kumpulnya. Ketibaan saya di titik
kumpul bukanlah yang pertama, namun bukan pula yang terakhir. Waktu kosong
disaat menunggu #Ngojak11 mulai, saya manfaatkan dengan menikmati segelas kopi
hitam buatan tukang kopi keliling.
Lebih kurang pukul 8.00 #Ngojak11
dimulai, dari Stasiun Cikini kami berjalan ke arah utara menuju Sekolah
Peguruan Cikini atau yang lebih dikenal dengan nama Percik. Dalam perjalanan,
kami singgah disebuah rumah yang tampak tua namun tidak luntur kemegahannya.
Itu adalah rumah Bapak Ahmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri Indonesia yang
pertama.
Dikisahkan oleh rekan kami, mas
Achmad Sofiyan, salah satu orang yang paling dipusingkan dengan dibawanya
Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok oleh para pemuda menjelang proklamasi kemerdekaan pada
tahun 1945 yang lalu, adalah bapak Ahmad Soebardjo. Karena saat itu beliau termasuk
bagian dari anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Achmad Soebardjo pula yang
kemudian dikawal para pemuda menjemput Soekarno-Hatta dari Rengasdengklok untuk
kembali ke Jakarta. Berkat kemampuan diplomasinya, Achmad Soebardjo mampu
menjembatani aspirasi kaum muda dan kaum tua semasa persiapan proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia.
Rumah Bapak Achmad Soebardjo di Cikini, Jakarta Pusat | Foto milik mas Ali Zaenal |
Tidak jauh dari rumah bapak Achmad
Soebardjo terdapat Sekolah Perguruan Cikini. Sebuah sekolah yang pada masanya
merupakan tempat menimba ilmu bagi anak-anak pesohor negeri.
Mas Indra Pratama, salah satu
pemateri pada #Ngojak11 ini mengatakan, bahwa beberapa putra-putri Presiden
Soekarno seperti Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarno Putri, dan Guruh
Soekarno Putra adalah alumni Percik. Selain mereka, nama-nama seperti Akbar
Tanjung, Hayono Isman, Subronto Laras, Nasution bersaudara (Zulham, Gauri,
Keenan, Oding dan Debby Nasution), Bimbim `Slank`, Sam Bimbo, hingga
putra-putrinya Presiden Soeharto pernah mengenyam pendidikan di Percik.
Namun ada sebuah peristiwa
berdarah yang terjadi di Percik pada Sabtu malam, tanggal 30 November 1957.
Saat itu sedang berlangsung suatu kegiatan bertajuk Malam Amal Ulang Tahun ke-15
Sekolah Rakjat Perguruan Tjikini. Presiden Soekarno turut menghadiri kegiatan
dalam kapasitas beliau sebagai orang tua murid
Saat akan pulang dan diantar
menuju mobil, ada sebuah ledakan didekat Presiden Soekarno. Tidak hanya satu,
tapi ada dua ledakan dan diikuti dengan lemparan beberapa granat ke arah
Presiden Soekarno.
Salah seorang pengawal Presiden
Soekarno bernama Ngationo, kemudian mengorbankan diri dengan menjadikan tubuhnya tameng hidup. Soekarno selamat, namun banyak
orang tewas dan terluka dalam peristiwa ini, termasuk wanita dan anak-anak.
Sekolah Perguruan Cikini | Foto milik mba Novita Anggraini |
Kami pun melanjutkan perjalanan.
Kali ini menuju Jalan Cidurian No. 19. Saat tiba disana, kami melihat sebuah
bangunan mewah berwarna putih dengan tulisan `Gedung Tri Dharma Widya`.
“Dulu itu markas Lekra,” ujar mas
Indra kepada kami.
Mas Indra dan beberapa pemateri
lain lalu menceritakan bahwa pada tahun 1950 berdiri Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) yang didirikan oleh Aidit, Njoto, AS Dharta, dan MS Ashar. Lembaga ini
didirikan sebagai organisasi afiliasi dari PKI, dimana Lekra diharapkan dapat
menjadi penggerak seni dan budaya yang merujuk kepada kebudayaan seni dan
sastra Uni Soviet era Stalin saat itu.
Berbagai bentuk seni dan budaya
dipakai Lekra untuk berkampanye, mulai dari sastra, seni lukis, seni rupa,
sampai kesenian tradisional berbentuk pertunjukan.
Dari Jalan Cidurian No. 19 kami
menuju Jalan Raden Saleh Raya. Mendengar namanya saja mungkin sudah dapat diterka,
kemana kami selanjutnya. Ya benar! Kami berjalan menuju kawasan Rumah Sakit PGI
Cikini yang di dalam kompleknya terdapat bangunan Istana Raden Saleh.
Namun sebelum tiba disana, kami
singgah sesaat di sebuah bangunan bergaya kolonial Belanda yang belum lama ini
dikenal dengan nama Restoran Oasis. Selain karena kemewahan dan langganannya
para pejabat serta orang kaya, restoran mahal ini dulu sangat terkenal dengan
istilah `Rijsttafel`, yaitu cara penyajian hidangan secara berurutan dengan
menu berbagai macam kuliner khas nusantara.
Penyajian makanan seperti ini
berkembang sejak era kolonial Hindia Belanda, Rijstaffel memadukan etika dan tata
cara perjamuan resmi Eropa dengan kebiasaan makan orang Indonesia.
Rumah bekas restoran Oasis dibangun pada tahun 1928 dan berfungsi sebagai rumah tinggal keluarga tuan F.
Brandenburg van Oltsende, seorang milyuner Belanda pemilik perkebunan teh,
karet dan kina. Saat kami tiba disana, bangunannya sedang dibersihkan dan
mengalami perbaikan di beberapa bagian rumah. Kabarnya sudah ada penyewa lain
yang akan memfungsikan kembali bangunan tersebut menjadi tempat usaha kuliner.
Bangunan eks Restoran Oasis dan rumah tinggal keluarga tuan F. Brandenburg van Oltsende |
Dari bangunan eks restoran Oasis
kami melintas jalan dan memasuki area rumah sakit PGI Cikini. Di sini kami
langsung disambut oleh mba Novi Safitri, sesama penggiat Ngojak, dan pak Abdul,
petugas di Istana Raden Saleh.
Saat masuk ke dalam istana,
tampak sekali suasana suka cita menghias ruangan. Aneka balon berwarna biru
muda dan putih masih tergantung di sudut dan bagian atas bangunan. Kumpulan
balon yang dibentuk menjadi angka `120` tampak di salah satu sudut ruangan.
“Kami baru ada acara, merayakan
ulang tahun ke-120 RS PGI Cikini,” terang mba Novi.
Di istana Raden Saleh ini,
giliran mba Suci Rifani yang menjadi pemateri. Dengan lugas mba Uci, begitu dia
biasa disapa, mengisahkan tentang siapa itu Raden Saleh dan apa saja kisah-kisah yang
dia tinggalkan.
Nama lengkapnya adalah Raden
Saleh Syarif Bustaman, beliau seorang pelukis beraliran Romantis. Pada usia 13
tahun, Raden Saleh belajar melukis ke seorang pelukis naturalis bernama AAJ
Payen di Bandung. Lukisan yang Raden Saleh buat atau pelajari sebagian besar
adalah lukisan pemandangan Hindia Belanda, yang diperuntukkan untuk kantor
urusan kolonial di Belanda.
Bakat melukis Raden Saleh
membuatnya dikirim ke Eropa. Ia pandai bergaul dengan para Bangsawan
Eropa, termasuk Raja Belanda Willem I dan Willem II, dengan mengaku sebagai “Pangeran
dari Jawa”.
Berfoto bersama di depan istana Raden Saleh | Foto milik mba Novi Safitri |
Raden Saleh banyak melukis potret
diri para bangsawan Eropa dan melukis banyak lukisan romantik dengan konteks
Hindia Belanda, untuk kepentingan apresiasi Kolonial. Gaya atau aliran melukis seperti ini kemudian dinamakan
sebagai aliran Mooi Indie. Di Eropa, Raden Saleh juga memiliki tugas untuk
mengajari orang-orang di departemen kolonial Belanda mengenai adat-istiadat
Jawa.
Raden Saleh kemudian menikahi
seorang janda kaya bernama Constancia von Mansfield, yang mewarisi beberapa
perkebunan besar di Jawa dari mendiang suaminya, Nicholaas Winckelhaagen. Pada
tahun 1851 Raden Saleh pulang ke Jawa bersama istrinya, dengan harta istrinya,
ia membangun rumah besar di sisi sungai Ciliwung yang desainnya meniru
Callenberg Castle di Beiersdorf, Jerman, dimana ia pernah tinggal untuk
beberapa waktu.
Salah satu lukisan Raden Saleh
yang sangat terkenal adalah lukisan berjudul `Penangkapan Pangeran Diponegoro`
yang dibuat pada tahun 1857. Lukisan ini seolah menjadi bentuk protes dan
perlawanan Raden Saleh terhadap kolonialisme, khususnya protes terhadap lukisan
karya Nicholas Pienemaan.
Pienemaan adalah seorang pelukis
spesialis kejadian bersejarah. Pienemaan melukiskan peristiwa
penangkapan Pangeran Diponegoro di tahun 1930 dengan judul `The Submission of
Prince Dipo Negoro to General De Cock`. Raden Saleh yang melihat lukisan
tersebut di Belanda lalu membuat interpretasinya pada tahun 1957.
Lukisan karya Raden Saleh menggambarkan
wajah Pangeran Diponegoro yang berbeda, yaitu wajah yang menunjukkan
keberanian, para pengawalnya yang tidak membawa senjata sebagai tanda itikad
baik, serta kepala orang-orang Belanda yang diperbesar untuk menimbulkan
kesan mengerikan.
Lukisan berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh (1857) | Foto milik en.brilio.net |
Kami pun melanjutkan perjalanan.
Tujuan berikutnya adalah situs Makam Al Habib Abdurrahman bin Abdurrahman Al
Habsyi (Habib Cikini), Masjid Al-Makmur di Jalan Raden Saleh Raya, bekas Kantor
CC PKI dan Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Kami singgah cukup lama di Kantor
PBNU yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 164. Selain untuk istirahat dan
melaksanakan sholat Dzuhur, di kantor PBNU ini kami diajak untuk melihat-lihat
sebuah ruangan yang bernama Pojok Gusdur. Di ruangan inilah dahulu Kyai Haji
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur, berkantor. Baik dimasa
beliau belum menjadi Presiden, maupun beberapa saat setelah beliau tidak
menjabat lagi sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Di Pojok Gusdur, seorang kawan
yang bernama mas Hasan Bashori berbagi kisah kepada kami. Kisah-kisah tentang sosok
Gus Dur yang begitu sederhana dan mampu memberi keteduhan batin kepada siapa
saja yang bertemu dengan beliau. Gus Dur yang jenaka, spontan, dan selalu haus
akan ilmu pengetahuan. Semua kisah disampaikan dengan ringan, diiringi rujak
buah yang pedasnya menyegarkan.
Berziarah ke Makam Al Habib Abdurrahman bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Cikini) | Foto milik mba Asta Dewanti |
Makam Al Habib Abdurrahman bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Cikini) | Foto milik mas PamPam |
Foto bersama di Pojok Gusdur | Sumber foto: Ngopijakarta |
Dari kantor PBNU kami pun melanjutkan perjalanan. Tujuan kami selanjutnya adalah Museum M.H. Thamrin yang terletak tidak jauh dari kantor PBNU, tepatnya di Jalan Kenari. Sayang, hari sudah terlalu sore sehingga museumnya sudah tutup saat kami tiba. Namun di halaman museum yang telah tutup, kami tetap antusias mendengarkan kisah Muhammad Husni Thamrin dan keberadaan museum ini dari mba Uci.
Jalan Kenari II, akses menuju Museum M.H. Thamrin | Foto milik mas Deists Wardoyo |
Di halaman Museum M.H. Thamrin | Foto milik mas Deists Wardoyo |
Kami terus berjalan dan tujuan
selanjutnya adalah kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba. Dalam perjalanan
menuju kampus UI, kami melewati sisa dari jembatan kereta/trem dan bangunan bekas
Stasiun Salemba yang kini sudah berubah fungsi menjadi rumah tinggal penduduk.
Sisa-sisa bentuk bangunan stasiun yang dibangun pada tahun 1899 tersebut masih
tampak nyata. Seperti bentuk pintu-pintu, dinding, ventilasi hingga atap
bangunan yang sangat khas melambangkan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan
tua yang dibangun di masa kolonial.
Menurut makalah yang kami terima diawal pelaksanaan #Ngojak11, stasiun Salemba adalah stasiun tempat transit sebelum ada jalur kereta api lintas
Manggarai. Stasiun Salemba juga
berfungsi sebagai jalur dalam pengangkutan candu dari pabrik candu yang berada
di sebelahnya. Melalui stasiun ini lah kemudian registrasi dan relasi
perjalanan kereta api pengangkut candu dilaksanakan.
Sisa-sisa Stasiun Salemba yang kini menjadi pemukiman warga | Sumber foto: Ngopijakarta |
Bangunan bekas Stasiun Salemba | Foto milik mba Novita Anggraini |
Pintu di bangunan bekas Stasiun Salemba | Foto milik mba Asta Dewanti |
Memasuki kawasan kampus UI, kami
mencoba menyusuri jejak pabrik candu yang dahulu berlokasi di area tersebut.
Sayang informasi yang kami miliki kurang memadai untuk mengetahui secara pasti
letak pabrik candu tersebut berada.
Masih di kawasan kampus UI
Salemba, kami menuju gedung Fakultas Kedokteran UI (FKUI). Di depan gedung
kampus ini kami berbagi kisah tentang berbagai peristiwa sejarah dan pergerakan
yang terjadi, seperti peristiwa TRITURA, hingga kisah kepahlawanan Prof. Dr.
dr. Abdurrahman Saleh, seorang guru besar FKUI yang juga merupakan perwira
Angkatan Udara Republik Indonesia dan salah seorang pendiri Radio Republik
Indonesia. Pak Karbol, demikian Prof. Dr.
dr. Abdurrahman Saleh dijuluki, tewas saat pesawat berisi obat-obatan yang ditumpanginya jatuh
ditembak Belanda di Jogjakarta.
Di depan gedung FKUI Salemba | Foto milik mba Rahmah Karuniasih |
#Ngojak11 berakhir di gedung
FKUI. Lelah dan dahaga yang terasa mampu saya ubah menjadi sebuah kepuasan
batiniah. Berjalan menyusuri sudut-sudut kota Jakarta bersama Ngojak selalu
menyenangkan. Selalu ada hal dan tempat baru yang kita jumpai, yang mampu memperkaya
sudut pandang kita dalam melihat warna kota Jakarta.
-Jakarta, 30 Januari 2018-
84 hari jangan katakan itu rindu, berat rasanya
BalasHapusCukup aku saja yang berat, mas. Kamu jangan. Nanti susah pas kita boncengan motor hahahahahhaha
Hapus