Menara Air Manggarai, Bukit Duri, Jakarta Pusat |
“Kita mau lewat mana mas?” Tanya pengemudi ojek daring yang
menjemput saya.
Dia bertanya bukan karena tidak hafal jalan, tapi hanya
meminta pendapat.
Seperti biasa, saya akan jawab “terserah” jika mendapatkan
pertanyaan seperti itu dari pengemudi ojek. “Jalan yang bapak hafal saja” ujar
saya selanjutnya.
Maka berkendaralah kami dari kawasan Tebet menuju Pasaraya
Manggarai.
Pengemudi ojek memilih untuk melewati jalan-jalan kecil yang
sangat asing bagi saya.
Dalam perjalanan tersebut, saya melihat suatu bangunan yang
sangat menarik perhatian. Dari kejauhan bangunan tersebut tampat nyata karena
menjulang tinggi tanpa ada bangunan tinggi lain di sekitarnya. Bergaya klasik
dan kokoh bagai menara benteng peninggalan penjajah.
“Itu menara masjid, pak?” tanya saya kepada pengemudi ojek.
“Bukan mas, itu Menara Air Manggarai,” jawabnya kemudian.
Beberapa tahun berlalu, percakapan saya dengan bapak
pengemudi ojek kembali terkenang saat saya akhirnya bisa mengunjungi Menara Air
Manggarai.
Menara yang berdiri tinggi sendiri tanpa satu menara pun menemani.
Menara ini menjadi tempat singgah terakhir setelah selama
seharian saya dan beberapa orang lainnya berjalan kaki menyusuri lorong-lorong
perkampungan ibukota.
Kegiatan bertajuk #NgoJakVol.10: “Manggarai; Dari Mata Sang Air" yang saya ikuti ini bermula
dari Stasiun Sudirman, lalu secara berombongan kami berjalan menuju Waduk
Pengolahan Limbah Setiabudi, menyusuri Banjir Kanal Barat, singgah di Museum
Sasmita Loka Jenderal Ahmad Yani, kawasan Eks Bioskop dan Penjara Guntur, Pasar
Rumput, dan kawasan Manggarai lengkap dengan perkampungan, pintu air, hingga
berakhir di Menara Air Manggarai saat sore menjelang.
Saat mencari cerita sejarah tentang Menara Air Manggarai
ini, tidak banyak artikel yang bisa saya temukan. Beberapa artikel yang ada di
internet hanya membahas kondisi menara air saat ini dan ada pula beberapa
artikel yang menuliskan kisah-kisah mistis terkait Menara Air Manggarai.
Berfoto di depan Menara Air Manggarai | Sumber foto: Achmad Sofiyan |
Artikel di situs Wikipedia Indonesia yang kerap jadi rujukan pun hanya menuliskan dua kalimat dalam penggambarannya tentang Menara Air Manggarai.
"Menara air Manggarai adalah bangunan di Manggarai, Jakarta Selatan yang dibuat sekitar tahun 1918. Menara ini digunakan untuk menyalurkan air di daerah Jakarta dengan menggunakan teknologi bejana berhubungan dari sumber air di Bogor untuk memenuhi dua tangki air yang berada di dalam menara air tersebut."
Demikian tulis Wikipedia Indonesia. Singkat. Tidak ada
penjelasan lain.
Lalu kisah apa yang saya dapatkan tentang Menara Air
Manggarai hari itu?
Menara Air Manggarai masih terletak di kompleks stasiun
kereta api Manggarai. Di kompleks tersebut terdapat sebuah bengkel kereta yang
pada masa lalu dikenal dengan istilah werkplaats
atau “tempat bekerja”. Seiring perkembangannya, istilah werkplaats kemudian dikerucutkan menjadi sebutan untuk bengkel
khusus kereta api. Hingga pada akhirnya, di masa sekarang kita mengenal istilah
werkplaats dengan sebutan Balai Yasa.
Saat ini terdapat delapan Balai Yasa yang dikelola langsung oleh
PT. Kereta Api Indonesia, yaitu Balai Yasa Manggarai di Jakarta, Balai Yasa
Kiaracondong di Bandung, Balai Yasa Tegal , Balai Yasa Yogyakarta, Balai Yasa
Surabaya Gubeng, Balai Yasa Pulu Brayan di Medan, Balai Yasa Padang dan Balai
Yasa Lahat di Palembang.
Balai Yasa di stasiun Manggarai terletak di sebelah tenggara
stasiun. Di masa lalu lokasi ini dekat dengan perumahan dinas untuk pegawai
rendahan Bumiputra. Ada dua bengkel kereta api di Balai Yasa ini, satu untuk
bengkel kereta listrik, satu lagi untuk bengkel lokomotif dan boogie gerbong.
Namun setelah dibangunnya depo lokomotif di Jatinegara
(Meester Cornelis) dan di stasiun Tanah Abang (sekitar tahun 1930), bengkel di
Manggarai ini lebih dikhususkan pada perbaikan gerbong-gerbong kereta api.
Menara Air Manggarai terletak di antara kompleks rumah dinas
pegawai kereta api dan Balai Yasa. Menara ini berfungsi sebagai tempat
penampungan air yang disedot dari dalam tanah lalu ditampung ke dalam bak air
besi.
Teknologi yang digunakan untuk pengaturan air pada menara
air ini disebut dengan istilah Bejana Berhubungan, yaitu bejana (wadah air) berisi air yang
saling terhubung dan memiliki tinggi permukaan air yang sama tanpa terpengaruh
oleh ukuran dan isi dari tiap bejana. Bila air ditambahkan pada salah satu bejana, tinggi
permukaan pada setiap bejana akan berubah dan kembali sama tinggi.
Arsitekturnya yang klasik membuat Menara Air Manggarai tampak `Instagramable` Sumber foto: Juan Adrian |
Air yang telah tertampung kemudian dimanfaatkan untuk
kepentingan stasiun Manggarai dan lingkungan sekitar, seperti sebagai sumber
air untuk pemadaman kebakaran, penyiraman, dan kebutuhan air bersih penduduk di sekitar
kawasan Manggarai hingga Matraman.
Dari cerita yang saya dengar, saya menyimpulkan bahwa keberadaan menara air ini cukup penting bagi masyarakat sekitar dan jawatan kereta api saat itu. Lalu jika kita menghitung tahun, maka Menara Air Manggarai saat ini
sudah berumur 100 tahun.
Namun sayang, bangunan peninggalan era kolonial tersebut
sampai saat ini belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Padahal penetapan Menara
Air Manggarai sebagai cagar budaya penting dilakukan agar bangunan tersebut
dapat lestari dan terlindungi.
#NgoJak
Vol.10: “Manggarai; Dari Mata Sang Air" | Sumber foto: Ngopi Jakarta |
-Jakarta, 21 Oktober 2017-
0 comments
Posting Komentar