Semua foto pada tulisan ini adalah milik Ngopi Jakarta
Ngojak di Tugu Proklamasi |
Minggu, 5 Maret 2017, menjadi awal perkenalan saya dengan sebuah
komunitas bernama Ngojak atau Ngopi Jakarta. Adalah mas Achmad
Sofiyan, seorang kawan pengajar dan pecinta sejarah yang mengenalkan saya
kepada Ngojak.
“Di sana kita akan banyak belajar sejarah, mas. (Juga) Lebih
mengenal Jakarta dan khususnya sungai Ci Liwung sebagai pusat peradaban kota,”
ujarnya menggambarkan apa itu Ngojak kepada saya.
Paparan singkat tentang Ngojak cukup untuk membuat
saya tertarik mengikuti kegiatan yang mereka adakan. Maka mendaftarlah saya
menjadi peserta kegiatan Ngojak yang saat itu akan mengunjungi kawasan Condet
dan sekitarnya.
Tujuh belas bulan berlalu, selama itu pula saya telah
mengenal dan banyak mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh
Ngojak. Tidak setiap edisi, mereka menyebutnya volume, saya ikuti karena waktunya
terkadang berbenturan dengan kegiatan kantor.
Setiap edisi yang Ngojak adakan, merupakan sesuatu yang
spesial buat saya. Karena setiap kali habis kegiatan, selalu bertambah
pengetahuan saya tentang Jakarta.
Bertambahnya pengetahuan, tanpa disadari bertambah pula
kecintaan saya terhadap kota ini. Banyak hal dan tempat di Jakarta yang baru
saya lihat saat berjalan bersama Ngojak. Mulai dari kebun buah salak di Condet,
hingga Pojok Gusdur yang merupakan ruang kerja Presiden Republik Indonesia
ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid, saat beliau masih menjabat sebagai ketua Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Mengunjungi sebuah reruntuhan bangunan rumah besar di
Tanjung oost menjadi tempat perkenalan awal saya dengan Ngojak. Saya menuliskan
tentang rumah yang kami sebut Villa Nova itu dalam tulisan yang berjudul “VillaNova: Dari Tempat Peristirahatan hingga Kisah Perlawanan.”
Selepas dari Villa Nova, kami diajak untuk mengunjung
perkebunan buah salak yang ada di Condet. Dari tempat inilah nama Salak Condet
berasal. Takjub, karena tak terbayangkan sama sekali masih ada perkebunan salak
yang luas di kota Jakarta.
Dari kegiatan Ngojak, saya pun mengenal ibu Amanah yang saat
kami kunjungi sudah berusia 82 tahun. Beliau adalah pembuat kue lopis, penganan
khas Condet. Saat itu kami berkesempatan untuk mencicipi kue lopis buatan ibu
Amanah yang manis dan legit serta tips cara memotong kue lopis menggunakan
benang.
Ibu Amanah, pembuat Kue Lopis di Condet |
Ngojak Condet pun mengenalkan kami kepada arsitektur asli rumah
betawi pinggir. Rumah yang kami kunjungi tersebut merupakan rumah milik
keluarga bapak Haji Mujitaba yang dibangun pada tahun 1918.
Ngojak di Rumah Asli Betawi milik keluarga Haji Mujitaba |
Bersama Ngojak saya pun banyak mengunjungi makam tokoh-tokoh
besar di zamannya. Seperti makam ulama besar Betawi K.H Abdul Mughni,
makam Pangeran Kuningan yang mengenaskan karena terhimpit pondasi gedung-gedung
bertingkat, makam Pangeran Achmad Jaketra, makam Pangeran Astawana, hingga makam
Habib Abdurrahman bin Ali Al Habsyi atau yang terkenal dengan panggilan Habib
Cikini (baca juga: Membaca Jakarta bersama Ngojak, dari Cikini hingga Salemba) .
Entah mengapa untuk urusan pemakaman memang terasa cukup
spesial di Ngojak. Bahkan perayaan ulang tahun ke-1 Ngojak berlangsung di TPU
Karet Bivak dengan tema “Ngojak Vol. 8: Pusara Kaum Revolusioner.”
Makam Pangeran Kuningan, terhimpit gedung-gedung bertingkat |
Makam K.H. Abdul Mughni |
Makam Pangeran Achmad Jaketra |
Ngojak Jatinegara yang berlangsung pada tanggal 12 September
2017, mengajak saya untuk melihat pasar Jatinegara secara lebih dalam. Melalui
Ngojak edisi ini saya jadi tahu dan bisa memberitahukan kepada orang lain bahwa
untuk mencari baju-baju adat daerah guna kepentingan karnaval maupun pesta
pernikahan dan khitanan, datanglah ke pasar Jatinegara. Di sana baju-baju adat
daerah se-Indonesia lengkap tersedia.
Masih di Jatinegara, Jembatan Item menjadi daerah yang cukup
membuat saya terkejut dengan aneka barang yang dijual disana. Di Jembatan Item
pula tingkat kewaspadaan saya seketika meningkat dan secara cepat memindahkan
tas dari punggung ke depan badan.
Jembatan Item Jatinegara |
Di Manggarai, saat saya ikut bersama Ngojak jelajah
Manggarai, saya sangat bersyukur karena akhirnya bisa mendatangi dua tempat
yang sudah lama saya ingin kunjungi. Pertama adalah Pintu Air Manggarai, dan
yang kedua adalah Menara Air Manggarai (baca juga: “Berdiri Tinggi Sendiri,Menara Air Manggarai”).
Ngojak di Pintu Air Manggarai |
Ngojak di Menara Air Manggarai |
Ngojak pula yang
mengajak saya untuk datang berkunjung ke tempat-tempat ibadah yang ada di
Jakarta. Khususnya tempat-tempat ibadah dengan nilai kesejarahan yang tinggi
seperti Gereja Koinonia di Jatinegara, Gereja Imanuel di Gambir, Mesjid Al
Mubarok di Kuningan, Masjid Al Makmur di Raden Saleh (Cikini), Masjid Matraman,
Masjid Baitul Mughni di Kuningan dan beragam klenteng yang kami lewati saat menelusuri
lorong-lorong ibu kota.
Masjid tua Al-Mubarak |
Masjid Jami Baitul Mughni |
Ngojak di Klenteng Amurva Bhumi |
Masjid Hidayatullah |
Gereja Koinonia Jatinegara |
Ngojak di Klenteng Bio Shia Jin Kong |
Gereja Imanuel, Gambir |
Tempat istimewa lainnya yang saya pernah kunjungi bersama
Ngojak adalah area kuliner masakan khas Sumatera Utara di Terminal Bus Senen,
masuk ke dalam gedung eks Restoran Oasis yang kini menjadi Warunk Upnormal di Raden
Saleh, Gedung Balai Kota Jakarta, kantor Gubernur Willem Deandles yang
merupakan Gedung Putih-nya Jakarta, Kantor Sarekat Islam, dan yang spesial
adalah mengunjungi sebuah ruang di kantor PBNU bernama Pojok Gusdur.
Bagian dalam Gedung Eks Restoran Oasis |
Ngojak di Balai Kota DKI Jakarta |
Ngojak Buka Puasa Bersama di Sekretariat Sarekat Islam |
Ngojak di Pojok Gusdur |
Saya tidak lahir di Jakarta, namun kenangan dalam ingatan
saya dipenuhi dengan kenangan indah saat menghabiskan masa kecil bersama kakek
nenek di rumah mereka di Jalan Cik Di Tiro.
Usia kelas 2 sekolah dasar, saya ikut kedua orang tua pergi
dari Jakarta dan tinggal di daerah Pandeglang, Banten. Sesekali kami masih
mengunjungi kakek nenek di Jakarta, terutama saat liburan sekolah tiba.
Tahun 2002, selepas SMA, saya akhirnya menetap dan bekerja di
Jakarta.
Cukup lama waktu yang saya habiskan untuk bersikap tak acuh
terhadap apa yang sesungguhnya dimiliki Jakarta. Cukup lama pula waktu yang
telah saya habiskan untuk mengenal Jakarta ala kadarnya. Mengenal Jakarta dari
`kata orang` ataupun hanya lewat media. Tanpa ada usaha untuk mengenalnya lebih
jauh lagi.
Ngojak berperan mengenalkan saya kepada Jakarta. Lambat laun
menumbuhkan pula cinta saya pada kota yang selalu riuh ini.
Setiap edisi Ngojak yang tak dapat saya ikuti, adalah kecewa
yang sangat berarti pada hati.
Terima kasih Ngojak, telah membuat saya semakin cinta kepada
Jakarta. Walau hingga selesai menulis tulisan ini, saya masih belum berencana
untuk menua dan meninggal di Jakarta.
Minggu, 5 Agustus 2018, Ngojak berulang tahun yang ke-2.
Selamat ulang tahun, Ngojak! Semoga semakin bisa membawa
orang-orang yang membersamaimu untuk membaca Jakarta dan memaknai peradaban
-Jakarta, 5 Agustus 2018-
Keren kegiatannya ya, boleh ikutan tidak acaranya kapan-kapan
BalasHapusBoleh banget. Follow akun-akun media sosialnya Ngojak yaa. Setiap kegiatan diinfokan di sana. Terima kasih.
Hapus