Saya berdiri termenung cukup lama, melihat nanar pada
benteng kokoh berwarna merah yang ada di hadapan saya. Kesal. Karena bukan
pemandangan seperti ini yang saya harapkan.
Tadi pagi saat berangkat dari Jogjakarta menuju Gombong,
saya masih membayangkan bisa merasakan aura keagungan sang benteng di masa
lalu. Namun bukan itu yang saya dapatkan, melainkan keriuhan orang bernyanyi
dan bersorak riang bagai di taman wisata.
Tak lama kemudian sebuah kereta wisata melintas di samping
saya. Terlihat di dalamnya wajah-wajah wisatawan yang gembira. Tidak hanya di
darat, benteng ini pun memiliki kereta wisata yang berada di atap benteng. Ya! Di
atas atap benteng.
Dahulu benteng ini bernama Benteng Cochius atau Fort Cochius.
Nama tersebut diambil dari nama seorang Jenderal Belanda, Frans David Cochius, yang
pernah ditugaskan di daerah tempat benteng itu berada. Pada pintu benteng
tertulis “Aku Dibangun Tahun 1818” sebagai penanda tahun didirikannya benteng
ini.
Kini benteng berbentuk segi delapan (oktagonal) tersebut
lebih dikenal dengan nama Benteng Van Der Wijck. Saya tidak tahu dan tidak
mencari tahu lebih dalam tentang alasan perubahan nama pada benteng ini, yang
pasti sosok Van Der Wijck yang dijadikan nama benteng tersebut adalah seorang
Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang mulai memerintah antara tahun 1893 hingga
1899.
Dikisahkan bahwa benteng ini dulunya berfungsi sebagai
kantor dagang VOC. Lalu digunakan sebagai tempat logistik bagi tentara belanda
yang berperang dalam perang Diponegoro. Dikutip dari situs kebudayaan.kemdikbud.go.id, benteng
kembali mengalami perubahan fungsi pada tahun 1856, yaitu digunakan sebagai
Pupillen School atau sekolah calon militer bagi anak-anak keturunan Eropa yang
lahir di Hindia Belanda. Perubahan ini berpengaruh juga pada lingkungan
disekitar benteng dengan dibangunnya pemukiman militer yang dihuni oleh anggota
militer Belanda yang berada di Gombong.
Untungnya benteng ini luas, dan hari itu pengunjung tidak
terlalu ramai. Jadi saya masih bisa menikmati keheningan di lorong-lorong
benteng yang sejuk.
Tidak bisa saya pungkiri, bahwa saya menyukai benteng ini.
Saya suka bangunan benteng secara keseluruhan, baik tampilan luar, maupun
tampilan dalam. Banyak bagian-bagian dari benteng yang membuat saya betah memandang
dan berdiam cukup lama. Atap menjadi bagian paling istimewa bagi saya. Karena
baru dibenteng inilah saya melihat atap bangunan dibangun bukan dengan menggunakan genteng, melainkan
susunan batu bata.
Benteng Van Der Wijck adalah benteng yang indah.
Kelestariannya harus kita jaga. Perlu kejelasan dalam menentukan visi atau arah
pemeliharaan benteng. Mau dijadikan apa benteng ini, sekarang dan di masa yang
akan datang? Akan ditata bagaimana ruangan-ruangannya?
Menurut saya, menggabungkan situs sejarah berbentuk bangunan
tua yang tidak terlalu terawat dengan hiburan hura-hura jelas bukan sesuatu
yang bijak. Sayangnya hari itu saya melihat sendiri bagaimana aura wibawa
benteng ini tenggelam oleh panggung hiburan yang ada di sebelahnya, dan kereta
wisata yang berada di atapnya.
Sikap permisif terhadap kegiatan syuting film atau kegiatan showbiz lainnya yang dilakukan di lingkungan benteng juga mungkin perlu
dikaji ulang. Syuting film The Raid 2 yang dilakukan di Benteng Van Der Wijck jelas
dapat menjadi contoh, apakah kegiatan seperti itu benar-benar mendatangkan
manfaat jangka panjang bagi benteng dan lingkungan sekitarnya.
Tulisan ini adalah bentuk cinta dan rasa sayang saya kepada
Benteng Van Der Wijck. Semoga suatu hari nanti kisah kegagahan dan keindahan
Benteng Van Der Wijck dapat menyaingi kisah tentang Kellie`s Castle yang menjadi
ikon wisata dan sejarah negara bagian Perak di Malaysia
Harga tiket masuk yang saya bayarkan sebesar Rp25.000. Saya menggunakan
ojek daring saat mengunjungi benteng ini. Rasanya hampir semua orang di Gombong
tahu letak Benteng Van Der Wijck. Jangan khawatir tersesat.
Terima kasih sudah membaca. Semoga berbahagia.
Gombong, 14 Januari 2020
0 comments
Posting Komentar