Menyusun jejak peradaban masa lalu sebuah kota, bagai menyusun puzzle besar yang kepingnya telah banyak yang rusak bahkan hilang. Beragam kondisi keping puzzle tersebut, ada yang masih bagus sehingga tahu bentuk dan rupanya, ada pula yang telah lama terkubur dalam tanah sehingga perlu digali lalu dibersihkan, dan juga ada yang tidak diketahui lagi keberadaannya.
Tidak mungkin sebentar waktu yang dibutuhkan untuk menyusun keping-keping tersebut. Butuh sabar, telaten, daya, dan upaya yang keras walau tidak tahu kapan puzzle tersebut tersusun sempurna.
Beruntung apabila sebuah kota memiliki sekelompok orang yang peduli dan tanpa pamrih menyusun kepingin puzzle yang telah rusak bahkan hilang tersebut. Sial betul apabila sudah tidak ada lagi yang peduli. Jejak sejarah kota akan masuk dalam kategori dongeng atau bahkan khayalan belaka.
Saya berpendapat, Kota Tegal di Jawa Tengah memiliki keberuntungan dalam hal ini. Setidaknya dari apa yang saya lihat saat saya bersama para penggiat dari Sahabat Heritage Indonesia (SHI) berkunjung ke Tegal. Kami berjumpa dengan Komunitas Tegal History. Merekalah yang kemudian mengajak kami berkeliling, dan menceritakan tentang jejak sejarah di Tegal dan sekitarnya.
Penjelajahan di Tegal kami awali dengan sarapan di alun-alun kota, tepatnya di Warung Makan Sauto “Moro Tresno” yang telah berjualan sejak tahun 1962. Sauto merupakan singkatan dari Soto dan Tauco, dapat dikatakan ini adalah jenis soto khas Tegal. Sesuai namanya, yang membuat makanan ini unik adalah campuran tauco pada nasi dan soto yang pada saat saya menyantapnya timbul sensasi manis, asam, dan asin.
Sarapan di Warung Makan Sauto "Moro Seneng" |
Sauto Khas Tegal |
Setelah perut terisi, kami menuju Makam Sultan Amangkurat I yang berada di Tegalwangi, Desa Pasarean, Kabupaten Tegal. Seperti sudah menjadi kebiasaan dalam setiap perjalanan yang dilakukan SHI, mengunjungi makam pasti terselip dalam daftar kunjungan.
"Makam kuno pada dasarnya adalah sebuah heritage, yang juga harus dilestarikan. Tapi bedanya dengan bangunan heritage pada umumnya, di makam kita bisa bicara panjang lebar mengenai tokoh sejarah, termasuk mempelajari nilai-nilai ketokohan tanpa menghakimi. Itu sebabnya SHI satu waktu bisa menziarahi makam Belanda, di lain waktu menziarahi pahlawan nasional,” kata pengurus SHI Rizky Wiryawan pada sebuah diskusi di WhatsApp Group.
Makam Amangkurat I di Tegalarum |
Selain makam Sultan Amangkurat I, pada kesempatan ini kami pun mengunjungi makam Belanda atau Kerkoff yang terdapat di Kota Tegal. Dari yang saya lihat, Kerkoff ini nampak seperti `baru ditemukan`. Sebagian makam sudah dalam kondisi rusak dan tertimbun tanah. Namun ada juga yang sudah rapih berdiri megah. Tampak beberapa tanda petunjuk terpasang yang memberitahukan bahwa sedang berlangsung proses pembersihan makam oleh Komunitas Tegal History, semoga mendapat dukungan luas untuk usaha ini.
Seperti baru ditemukan, Kerkoff Kota Tegal sedang dibersihkan oleh komunitas |
Objek lain yang kami kunjungi dalam perjalanan ke Tegal adalah bangunan bekas pabrik gula (PG). Ada dua bangunan pabrik yang kami kunjungi, yaitu PG Jatibarang di Kabupaten Brebes, dan PG Pangkah di Desa Pangkah Kabupaten Tegal. Industri gula di Tegal dan sekitarnya memang pernah berjaya di pertengahan abad ke-19 dengan PG Pangkah sebagai pabrik pertama yang dibangun oleh NV Kosy & Sucier pada tahun 1832. Setelahnya, muncul berbagai pabrik gula skala besar di wilayah Keresidenan Tegal yang meliputi Pemalang, Brebes, Kota Tegal, dan Kabupaten Tegal. PG Pangkah sendiri berhenti beroperasi pada tahun 2019.
Saya terkagum-kagum melihat sisa kejayaan kedua pabrik ini, terutama saat berada di PG Jatibarang. Mesin-mesin yang besar dan otentik, pipa-pipa saluran yang rumit, ruang pembakaran yang sangat klasik, semua itu mampu memantik hormon dopamin dalam tubuh saya. Tidak terbayang kesibukan yang terjadi dahulu disaat pabrik masih aktif beroperasi. Area belakang PG Jatibarang menjadi area favorit saya. Di sana terdapat depo lokomotif yang dahulu digunakan sebagai sarana transportasi mengangkut tebu dari perkebunan ke pabrik. Sejumlah lokomotif tua masih ada dan berjejer di sana.
PG Jatibarang di Brebes |
Jejak kemegahan PG. Jatibarang |
Mesin-mesin di PG. Jatibarang |
Mesin-mesin impor di PG. Jatibarang |
Depo Loko Uap |
Aneka Loko Uap di PG Jatibarang |
PG Jatibarang didirikan pada tahun 1842 oleh perusahaan NV Mij tot Exploitatie der Suiker Onderneming dan dinasionalisasi tahun 1957. Pabrik gula ini berhenti beroperasi pada tahun 2017, konon karena kurangnya pasokan tebu yang bisa digiling untuk bahan baku gula.
Selain makam dan pabrik gula, kami juga mengunjungi Klenteng Tek Hay Kiong yang merupakan klenteng tertua di Tegal, dibangun sekitar 1760. Lalu mengunjungi kawasan rumah dinas militer di Slawi yang dulunya merupakan pabrik gula Kemanglen. Di lokasi ini pula kami diantar untuk makan siang berupa nasi dengan alas daun jati di Ponggol Gedong Jati Ibu Ipeh.
Sayang sekali karena saya harus pulang lebih awal dibanding rombongan lainnya, sehingga tidak bisa ikut ke objek terakhir yang merupakan salah satu ikon heritage Kota Tegal. Yaitu Gedung Birao atau Semarang Cheriboon Stroomtram (SCS). Iri nian melihat foto teman-teman yang bisa menikmati keindahan arsitektur kolonial di gedung tersebut. Semoga suatu hari nanti saya bisa kembali ke Tegal dan jelajahi Gedung SCS.
SHI di SCS Tegal |
Suatu keistimewaan pada perjalanan ini karena kami disambut secara pribadi oleh Wakil Walikota Tegal Bapak Muhamad Jumadi beserta istri Ibu Dyah Probondari di kediaman dinas beliau. Suguhan teh hangat dan kudapan menjadi penghangat bincang-bincang kami, penggiat Sahabat Heritage Indonesia bersama Bapak Wakil Walikota dan Ibu. Dari percakapan tersebut timbul harapan besar akan pengembangan kelestariaan heritage, khususnya yang ada di Kota Tegal.
SHI bersama Wakil Walikota Tegal dan Ibu |
Terima kasih telah membaca, semoga keberkahan selalu menaungi teman-teman.
Tegal, 19 Februari 2023.
0 comments
Posting Komentar